BANDUNG -
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai salah satu pilar kebangsaan telah mengalami
empat kali amandemen batang tubuhnya selama pasca reformasi.
Amandemen UUD 1945 dilakukan
pertama kali dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
diselenggarakan pada tanggal 14-21 Oktober 1999.
Ketua Fraksi Partai Demokrat
DPRD Provinsi Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya, mengatakan pasal
krusial yang pertama diubah adalah Pasal 7 UUD 1945 yang terkait dengan waktu
masa jabatan presiden selama 5 tahun dan periodesasi masa jabatannya yang hanya
boleh dijalani dua kali saja.
"Sidang Umum MPR tahun 1999 menjadi peristiwa penting dan bersejarah
karena agendanya adalah melakukan amandemen untuk pertama kalinya setelah
diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden tahun 1959,"
papar Asep saat menyampaikan sosialisasi empat pilar kebangsaan di
Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jumat (4/3).
Amandemen pertama atas batang
tubuh UUD 1945 yang dilakukan MPR adalah yang terkait dengan soal lamanya
periodesasi masa jabatan presiden sebagai respon positif dari tuntutan agenda
reformasi yang dituntut oleh mahasiswa dan rakyat pada tahun 1997-1998, ujar
pria yang akrab disapa Kang AW ini.
"Jadi, agenda perbaikan
atas periodesasi masa jabatan presiden yang menuntut revisi dalam batang tubuh
konstitusi kita itu memang menjadi salah satu prioritas utama agenda
reformasi," tegas politisi bintang mercy ini yang pada saat mahasiswa
bersama para mahasiswa hukum se-Indonesia lainnya pernah merilis Petisi Madheg
Pandito untuk melakukan penolakan Soeharto kembali menjadi Presiden pada tahun
1997.
Salah satu pesan inti dari
reformasi yang digelorakan oleh para mahasiswa sejak tahun 1997 itu, katanya,
adalah penegasan atas masa jabatan presiden selama 5 tahun dan pembatasan masa
periodesasinya yang hanya boleh 2 periode.
"Salah satu prinsip
demokrasi dalam hal mengatur tempo kekuasaan itu kan memang harus ada
pembatasan waktu dan kurun waktunya juga. Pemegang kekuasaan dalam sistem
demokrasi itu harus sirkuler atau dipergilirkan," tutur Asep.
Siapapun yang menjadi
presiden, katanya, mau dia baik ataupun tidak, berhasil atau tidak dalam
memimpinnya, tidak boleh punya keinginan untuk menambah atau ingin terus
menerus berkuasa seperti dalam sistem monarki.
"Dirinya harus berhenti pada saat masa jabatan atau periodesasinya
selesai. Sehingga, jangankan mengusulkan penambahan periodesasinya menjadi
lebih dari 2 periode, meminta tambahan masa jabatannya dari 5 menjadi 7 tahun
dengan cara meminta penundaan pemilu saja bisa saja
dikategorikan tabu," kata Asep.
Hal ini disebabkan pesan
terdalam dari reformasi yang telah diadopsi oleh konstitusi kita memang soal
membatasi kekuasaan demi mencegah munculnya pemikiran atau bahkan perilaku yang
sewenang-wenang dan akhirnya malah menjadi anti demokrasi.
"Teks dalam batang tubuh
konstitusi soal batasan masa jabatan dan periodesasi jabatan presiden yang amat
jelas bunyinya itu menjadi landasan kebijakan yang paling mendasar bagi
penyelenggaraan pemerintahan," papar mahasiswa program doktoral Fisip -
Unpad ini di hadapan para peserta yang berasal dari aktivis KNPI, Karang Taruna
dan para tokoh masyarakat setempat.
Jika merujuk pada pemikiran
itu, katanya, secara pribadi ia mengatakan bisa menyimpulkan bahwa para
pengusul penundaan Pemilu 2024 dan siapapun sponsornya bisa saja dikategorikan
sebagai pihak yang ahistoris dengan perjalanan sejarah bangsa ini atau kalaupun
mereka paham mereka justru bisa disebut sebagai begal konstitusi selain begal
reformasi sekaligus begal demokrasi.
Sumber: Tribunnews
0 Komentar