BOGOR - Para pengasuh pondok pesantren di Jawa Barat mengharapkan upaya nyata Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pengembangan pesantren. Tidak sekadar mengusung program One Pesantren One Product (OPOP) yang digulirkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, melainkan adanya asosiasi ekonomi pesantren.
Hal tersebut diungkapkan
anggota Panitia Khusus (Pansus) VII Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa
Barat Asep Wahyuwijaya saat melakukan kunjungan kerja ke beberapa
pondok pesantren di Jawa Barat. Kunjungan kerja digelar Pansus
VII DPRD sebagai tindak lanjut pembahasan rancangan peraturan daerah
(Raperda) pengembangan pesantren di Jawa Barat.
“Dari hasil silaturahmi dengan
beberapa pengurus pondok pesantren di Jawa Barat, dalam
memperkaya materi dan substansi Raperda Pengembangan Pesantren ini,
kami mendapatkan masukan dari para pengurus pondok pesantren. Keinginan
para pengurus pesantren ini justru ingin menjadikan pesantren mandiri
secara ekonomi, sekaligus dapat menjadi pusat perputaran ekonomi umat
dengan membentuk semacam serikat atau asosiasi ekonomi pesantren,”
ungkap Asep di Bandung, Selasa 30 Juni 2020.
Dengan adanya masukan dan
harapan para pengurus pondok pesantren ini, lanjut Asep, diharapkan
dapat diakomodir dalam Peraturan Daerah Pengembangan Pesantren di Jawa
Barat. Pasalnya, kata dia, pemberdayaan ekonomi di pondok pesantren ini
menjadi salah satu isu strategis dalam pengembangan pesantren. Hal itu pun
seharusnya dapat segera difasilitasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Tidak Bisa Segera Disahkan.
Namun, dari berbagai upaya
pengembangan pesantren yang dituangkan dalam raperda ini, kata Asep,
justru pihaknya menemukan persoalan baru. Raperda pengembangan pesantren tidak
bisa segera disahkan menjadi perda. Alasannya, kata Asep, saat ini masih
menunggu peraturan turunan dari Undang-undang 18 tahun 2019 tentang pesantren.
“Secara yuridis, meskipun
Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren telah disahkan
menjadi undang-undang, namun raperda tentang penyelenggaraan pesantren ini
tidak bisa dengan segera dan serta merta menjadi perda. Hal itu karena
kewenangannya masih ada di pemerintah pusat dalam hal ini di Kementerian
Agama,” tutur Asep.
Sebagai dasar dari pelaksanaan
otonomi daerah, lanjut dia, urusan kewenangan pemerintahan konkuren sudah
dibagi dalam Undang-undang Nomor 23/2014 tentang pemerintahan daerah. Dalam
lampiran undang-undang tersebut, kata dia, urusan pesantren itu masih
menjadi domainnya pemerintah pusat.
“Namun, jika merujuk pada
Pasal 15 ayat (3) undang-undang tentang pemerintahan daerah, itu bisa saja ada
kewenangan yang dibagikan ke pemerintah daerah asal ada Peraturan Presiden.
Nah, ternyata, Undang-undang Pesantren pun mengamanatkan perlunya Perpres agar
undang-undang tersebut bisa segera berlaku dengan efektif,” ucap dia
Dengan demikian, kata Asep,
maka terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dalam urusan pesantren ini,
pengesahan raperda pengembangan pesantren ini harus menunggu
terbitnya Perpres terlebih dahulu sebelum dapat disahkan menjadi Perda
Pengembangan Pesantren.
Sumber: Pikiran Rakyat (30/6/2020)
0 Komentar