BOGOR – Berbagai
upaya dilakukan pemerintah, untuk membantu masyarakat yang perekonomiannya
terganggu karena dampak pandemi Covid-19 (corona). Salah satunya, melalui
bantuan sosial (Bansos).
Hal tersebut menjadi perhatian
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya.
Menurutnya, Pemprov Jabar untuk kebutuhan Covid-19 ini sudah membuat tiga kali
pergeseran APBD untuk keperluan refocusing dan realokasi.
Pemprov Jabar, kata dia,
melakukan penyesuaian target pendapatan daerah sebesar 19,17 persen dari target
APBD murni sebesar Rp41,58 Triliun menjadi Rp33,60 Triliun.
Pria yang biasa disapa kang AW
itu mengatakan, hal itu terjadi karena adanya penurunan pada pendapatan asli
daerah (PAD) khusunya yang bersumber dari pajak daerah sebesar 30,14 persen
dari target semula Rp25,23 Triliun menjadi Rp17,62 Triliun.
Lebih lanjut kang AW
mengatakan, kontribusi penurunan pajak daerah terbesar dari pajak kendaraan
bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).
“Target PKB semula diperkirakan
Rp11,71 Triliun menjadi Rp4,36 Triliun atau turun sebesar 37,24 persen,” ungkap
legislator dapil Kabupaten Bogor itu.
Sedangkan, kata dia, BBNKB
terkoreksi sebesar Rp30,78 persen dari target Rp6,52 Triliun menjadi Rp 4,51
triliun. “Simulasi PAD ke depan tentu tidak akan bisa merujuk pada triwulan
pertama ini. Karena asumsi pendapatan yang diakibatkan wabah covid-19 ini
dengan adanya kebijakan PSBB tentu akan semakin jauh meleset juga. Konsekuensinya,
kemampuan Pemprov Jabar untuk mendanai bansos pun akan menjadi semakin
terbatas,” paparnya.
Kang AW menambahkan, ada
beberapa catatan terkait penanganan wabah Covid-19. Pertama, sambung dia,
sebagai akibat dari dikeluarkannya Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang kebijakan
keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi
Covid-19 tanggal 31 Maret 2020.
“Keterlibatan parlemen mulai
DPR RI, DPRD Provinsi, hingga DPRD Kota dan Kabupaten dalam urusan penganggaran
sudah tidak ada hak sama sekali,” ungkapnya kepada Radar Bogor.
Tak hanya itu, kata dia,
sebagai akibat dari telah diamputasinya hak anggaran parlemen dalam hal
penanganan wabah covid-19, protokol penanganan termasuk anggaran yang
diperlukannya pun menjadi eksekutif-sentris.
“Desain dan skenario kebijakan
dalam hal penanganan wabah, termasuk dari mana sumber penganggarannya bertumpu
pada kepiawaian Presiden dan kepala daerah saja,” katanya.
Ia menambahkan, sewaktu-waktu
memang ada komunikasi antara pihak eksekutif dengan legislatif, terkait rencana
penanganan wabah ini.
Secara legal, tutur kang AW,
saran dan pertimbangan dari legislatif itu bisa saja menjadi macan ompong (non-executable)
sifatnya.
Selanjutnya, ia mengaku, sangat
memahami bahwa potensi ricuh akan sangat mungkin terjadi saat pembagian bantuan
sosial dilakukan kepada warga apabila distribusinya dianggap tidak proporsional
jumlahnya.
Tak hanya itu, fenomena
penolakan untuk menerima bantuan yang terjadi di hampir seluruh pelosok Jawa
Barat ini, meskipun sifatnya belum massif namun bagaimana pun harus
diantisipasi sedini mungkin.
“Saya dan rekan-rekan di DPRD
Provinsi Jawa Barat, sudah berkali-kali mengingatkan akan munculnya potensi
ricuh itu. Hanya seperti saya bilang di awal, karena alasan Perppu 1/2020 itu
maka saran dan peringatan kami sah-sah saja apabila dianggap angin lalu oleh
Kepala Daerah,” paparnya.
Ia menegaskan, secara ekstrem
pernah menyampaikan saat forum rapat pimpinan DPRD Provinsi Jabar beserta
jajaran Satgas Covid-19 Provinsi Jabar. “Hati-hati, dengan skenario pemberian
bansos kepada warga,” ucap pria berkacamata itu.
Jika tak matang perencanaannya,
ia memperkirakan, alih-alih membantu warga yang terdampak tapi Pemprov Jabar
justru bisa menjadi pemicu (trigger) terjadinya gejolak sosial di akar rumput.
“Lalu, mengapa kericuhan ini
bisa terjadi ? Sederhana saja kok jawabannya adalah pemerintah punya uang
berapa banyak ?,” katanya.
Ia menuturkan, masalahnya bukan
pada berapa pintu yang disediakan bagi warga yang berhak untuk menerima
bantuan. Namun, saat ini adalah pada seberapa besar ruang fiskal yang dimiliki.
Kang AW menyoroti bahwa krisis ekonomi yang bakal ditimbulkan akibat wabah
Covid-19 saat ini, sangat berbeda dengan krisis tahun 1998.
“Kalau tahun 1998, meskipun
para konglomerat hancur bisnisnya namun ekonomi rakyat dengan kekuatan sektor
informalnya masih mampu menggerakan ekonomi warga di arus bawah,” tegasnya.
Kang AW mengungkapkan, kini
perputaran ekonomi formal di tingkat atas dan kekuatan di sektor informal di
arus bawah sama-sama hancurnya. Sehingga, warga yang terkategori miskin baru
(misbar) jumlahnya menjadi semakin banyak.
“Kondisi perekonominan ini yang
sekarang terjadi, dan harus diwaspadai oleh semua tingkatan pemerintah ketika
akan meluncurkan program Bansos,” katanya.
Ia juga mengaku, prihatin
dengan adanya aksi unjuk rasa puluhan pengurus RT dan RW se-Kelurahan Sukahati,
Kecamatan Cibinong.
“RT dan RW protes ke pemerintah
pusat dan provinsi. Bantuan dari Pemkab Bogor belum diturunkan kan ? Tindakan
itu sudah tepat. Kebijakan pemerintah diatasnya kan berubah-ubah juga. Jadi,
sebaiknya Pemkab Bogor wait and see dulu,” pungkasnya.
(Sumber)
0 Komentar